Dengan munculnya psikologi positif di tahun-tahun belakangan ini, rasa syukur telah menjadi konsep yang dikenal banyak orang. Bersyukur diketahui memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan kita, baik fisik maupun psikis. Banyak orang menganggap rasa syukur sebagai suatu kebajikan, namun pada prakteknya masah banyak ditemukan kritik.
Meskipun konsep seperti syukur memiliki sisi pendukung dan kritikus yang berlawanan, sebagian besar keberatan datang dari kurangnya pemahaman. Sebelum kita mulai mempraktikkan rasa syukur dalam hidup kita, penting untuk terlebih dahulu memahami apa arti rasa syukur dan apa yang bukan.
Melalui artikel ini, mari kita menelusuri kesalahpahaman paling umum tentang rasa syukur dan fakta di baliknya.
Pengertian Syukur
Untuk mengkaji syukur secara ilmiah, terlebih dahulu perlu dikonseptualisasikan. Psikolog telah mengkategorikan rasa syukur menjadi tiga jenis: rasa syukur sebagai sifat afektif, suasana hati, dan emosi. Penelitian Rosenberg (1998) menunjukkan bahwa orang dengan disposisi bersyukur cenderung lebih bahagia, lebih berharap, dan lebih hidup daripada yang lain.
Hanya segelintir orang yang memiliki rasa syukur sebagai sifat afektif. Seseorang yang memiliki sifat bersyukur cenderung merasa lebih bersyukur daripada orang lain, dalam situasi apapun.
Namun, setiap orang pernah merasakan syukur sebagai mood atau emosi. Mungkin Anda menjatuhkan dompet Anda dalam perjalanan pulang dan seseorang tiba-tiba mengembalikannya kepada Anda. Mungkin Anda lupa payung di rumah saat hujan dan seseorang menawarkan Anda untuk menggunakannya.
Perasaan yang Anda dapatkan saat menerima kebaikan dari orang lain ini adalah rasa syukur yang dirasakan sebagai sebuah emosi. Ketika Anda merasa bersyukur, Anda mengakui bahwa Anda telah mendapatkan hasil positif yang diberikan oleh orang lain. Anda mungkin juga merasa bahwa Anda ingin membalas dengan perbuatan baik yang sama dalam waktu dekat.
Manfaat Rasa Syukur
Kumpulan penelitian yang dikuratori oleh Greater Good Science Center di UC Berkeley menyebutkan banyak manfaat dari rasa syukur, termasuk manfaat fisik dan psikologis.
Dalam sebuah penelitian yang mengikuti pasien jantung, pasien dengan tingkat rasa syukur yang tinggi melaporkan tidur yang lebih baik, memiliki tingkat peradangan yang lebih rendah, dan tidak terlalu lelah. Orang yang lebih bersyukur juga cenderung memiliki kesehatan yang lebih baik, dan praktik untuk meningkatkan rasa syukur juga dapat meningkatkan kesehatan Anda dan memotivasi Anda untuk menjalani hidup yang lebih sehat.
Syukur juga memiliki berbagai manfaat untuk kesejahteraan psikologis Anda. Ketika Anda merasa lebih bersyukur, Anda mungkin merasa lebih terhubung secara sosial, lebih tertarik dan puas dengan sekolah atau pekerjaan, dan menginspirasi Anda untuk menjadi lebih baik, lebih murah hati, dan lebih membantu orang lain.
Kesalahpahaman Tentang Rasa Syukur
Syukur adalah konsep terkenal dalam psikologi positif, namun masih banyak kesalahpahaman di luar sana tentang hal itu. Untuk sepenuhnya menerima hasil positif dari rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari Anda, penting untuk benar-benar memahami apa sebenarnya rasa syukur itu dan bagaimana mengintegrasikannya ke dalam kehidupan kita.
Berikut adalah beberapa kesalahpahaman paling umum tentang rasa syukur dan fakta di baliknya.
1. Rasa syukur tidak mungkin dipupuk selama masa-masa sulit
Kita semua pernah memikirkan ini di beberapa titik. Sulit untuk melewati hari-hari hujan, apalagi memikirkan saat-saat yang lebih cerah. Bagaimana kita bisa berpikir tentang rasa syukur ketika hal-hal tidak berjalan seperti yang kita inginkan dan hampir tidak ada yang bisa kita syukuri?
Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa rasa syukur tidak hanya dapat dirasakan di masa-masa sulit, tetapi juga bermanfaat. Rasa syukur membantu kita melihat peristiwa negatif yang terjadi dalam hidup kita melalui perspektif lain dan bahkan dapat membantu kita mengatasi tantangan ini dengan lebih baik.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dari Journal of Positive Psychology, peserta penelitian yang menulis tentang pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan dan mencoba melihatnya dari perspektif lain yang membantu mereka untuk merasa bersyukur melaporkan penutupan dan mengurangi emosi yang tidak menyenangkan.
2. Mempraktikkan rasa syukur berarti menjadi positif 24/7
Banyak orang tampaknya berpikir bahwa untuk melatih rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari Anda, itu berarti Anda hanya harus fokus pada sisi positif hidup Anda dan menyangkal atau mengabaikan pengalaman negatif yang Anda miliki. Ketika Anda mengatakannya seperti ini, konsep syukur sangat dekat dengan kepositifan beracun.
Sementara banyak orang mungkin memilih untuk mengabaikan atau menekan segala bentuk emosi negatif, hal itu pada akhirnya akan menyebabkan lebih banyak kerugian bagi Anda. Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, penekanan ketidaknyamanan emosional dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan bentuk-bentuk kesulitan psikologis lainnya.
Mempraktikkan rasa syukur dapat membantu Anda melewati masa-masa sulit, tetapi hal yang paling penting adalah menerima bahwa Anda sedang melalui masa-masa sulit dan emosi tidak menyenangkan yang menyertainya. Pastikan Anda memproses dan melewati kesedihan, kemarahan, dan kesedihan yang mungkin menyertainya terlebih dahulu sebelum melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda.
3. Syukur memiliki efek positif langsung pada Anda
Banyaknya makalah penelitian tentang rasa syukur dan manfaatnya bagi kesehatan mental dan fisik mungkin membuatnya tampak seperti obat ajaib yang secara instan membuat semua masalah Anda hilang. Tentu saja tidak demikian.
Seperti kebiasaan lainnya, rasa syukur tumbuh lebih kuat setelah Anda mengolah dan mempraktekkannya secara teratur. Jurnal rasa syukur dapat disimpan selama berminggu-minggu sebelum Anda mulai merasakan efek jangka panjang pada emosi Anda.
Syukur juga tidak boleh dipaksakan. Tugas menuliskan apa yang Anda syukuri setiap hari mungkin akan terasa seperti tugas yang membosankan. Idealnya, tulis di jurnal Anda hanya dua atau tiga kali per minggu dan tidak lebih dari lima belas menit per hari.
4. Syukur membuat Anda egois
Mungkin tampak paradoks pada awalnya untuk berterima kasih kepada orang lain atas perbuatan baik mereka dengan harapan menerima manfaat untuk kesejahteraan fisik dan psikologis Anda sendiri. Itu sebabnya banyak orang melihat praktik syukur itu egois.
Namun, rasa syukur juga diketahui dapat meningkatkan hubungan. Dalam sebuah penelitian oleh Lambert dan Fincham pada tahun 2011, orang yang mengungkapkan lebih banyak rasa terima kasih tentang teman dan pasangannya melaporkan persepsi yang lebih positif tentang mereka. Ini juga memperkuat ikatan dalam hubungan mereka dan membuat mereka merasa lebih bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Dikenal sebagai “perekat sosial” emosi, rasa syukur bekerja paling baik ketika dibagikan dengan orang lain. Itu sebabnya ketika berbicara dengan orang lain, cobalah untuk berbagi rasa terima kasih Anda untuk mereka dan juga untuk orang lain. Saat membagikan cerita Anda melalui platform seperti Reyo, pastikan Anda juga mengungkapkan rasa terima kasih Anda kepada pendengar dan orang lain dalam hidup Anda untuk mendapatkan emosi yang kabur dan menyenangkan.
Sebagai emosi yang dikenal dapat menumbuhkan banyak efek positif, kita harus memahami rasa syukur dan banyak mitosnya.
Mengetahui mitos di balik rasa syukur sangat penting untuk memahami cara terbaik untuk melakukan latihan rasa syukur Anda dan mengalami efek positif tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang yang Anda cintai.
Referensi:
Allen, S. (2018). The science of gratitude. John Templeton Foundation.
Lambert, N. M., & Fincham, F. D. (2011). Expressing gratitude to a partner leads to more relationship maintenance behavior. Emotion, 11(1), 52–60. https://doi.org/10.1037/a0021557
Rosenberg, E. L. (1998). Levels of analysis and the organization of affect. Review of General Psychology, 2(3), 247–270. https://doi.org/10.1037/1089-2680.2.3.247
Watkins, P. C., Cruz, L., Holben, H., & Kolts, R. L. (2008). Taking care of business? Grateful processing of unpleasant memories. The Journal of Positive Psychology, 3(2), 87-99.