Untuk beberapa orang, bersikap keras terhadap diri sendiri rasanya lebih mudah dibandingkan mengucapkan “terima kasih” kepada orang lain yang memberikan diri kita pujian. Kecenderungan untuk mengkritik diri sendiri dan bersikap keras kepada diri sendiri dikenal sebagai self-criticism.
Kamus American Psychological Association (APA) menyebutkan self-criticism sebagai cara untuk menilai diri sendiri, mengenali kesalahan, kekurangan, dan keterbatasan diri. Akan tetapi, disebutkan pula bahwa kecenderungan ini dapat menjadi risiko tumbuhnya isu-isu psikologis seperti depresi.
Mengapa orang-orang sering mengkritisi diri sendiri?
Seperti trait kepribadian lainnya, kecenderungan self-criticism berkembang pada masa kanak-kanak. Bagaimana orangtua kita berinteraksi dengan diri kita, menerapkan batasan, dan mengajarkan aturan-aturan bisa mempengaruhi berkembangnya kecenderungan mengkritik diri sendiri.
Sebuah penelitian oleh Koestner, Zuroff, dan Powers (1991) mencoba untuk menjelaskan apabila pola pengasuhan berpengaruh kepada perkembangan self-criticism pada remaja dan dewasa muda.
Melalui penelitian longitudinal yang dijalankan dari periode tahun 1950 hingga 1980, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa beberapa tindakan dalam pengasuhan, diantaranya pengekangan dan pelarangan yang berlebihan dari orangtua, berkaitan erat dengan berkembangnya kepribadian self-critical pada saat seorang anak bertumbuh.
Hasil ini dapat dijelaskan melalui teori social learning Albert Bandura. Karena seorang anak umumnya belajar dengan mengamati orang-orang terdekatnya, pengasuhan dari orangtua yang terlalu mengekang dan banyak melarang dapat menyebabkan anak untuk menginternalisasi tuntutan-tuntutan orangtua yang keras tersebut, sehingga mereka akan menilai diri mereka dengan cara yang sama ketika mereka tumbuh dewasa.
Apakah kamu orang yang self-critical?
Kepribadian self-critical muncul secara berbeda pada setiap orang, namun secara umum, terdapat beberapa trait yang mengindikasikan Anda memiliki kecenderungan self-critical yang lebih tinggi dibandingkan orang lain.
1. Memiliki standar yang luar biasa tinggi untuk diri sendiri
Terdapat beberapa tipe self-criticism. Salah satu tipenya, internalized self-criticism, berkaitan dengan bagaimana diri seseorang terus menerus membandingkan dirinya dengan standar yang dimiliki dalam dirinya (Thompson & Zuroff, 2004).
Seseorang yang sering mengkritisi diri sendiri dan memiliki kecenderungan internalized self-criticism akan terus berusaha mencapai standar yang sempurna; akan tetapi, definisi “sempurna” yang mereka miliki terus bertambah.
2. Tidak sabaran dengan diri sendiri
Seseorang yang memiliki kecenderungan mengkritik diri juga tidak sabar menghadapi diri sendiri. Karena mereka memiliki standar yang sempurna untuk dirinya sendiri, ketika menghadapi situasi yang dianggap gagal, mereka tidak bisa bersikap lembut kepada diri sendiri.
Anda mungkin menemukan diri Anda mengkritik atau menjadi marah kepada diri sendiri ketika menghadapi situasi kegagalan atau kesalahan yang Anda rasa bisa dihindari.
3. Menyalahkan diri sendiri di masa sulit
Setiap orang akan menunjukkan respon yang berbeda pada masa sulit. Beberapa orang akan fokus pada faktor-faktor eksternal, dan menerima bahwa terkadang ada situasi yang berada di luar kontrol diri kita.
Akan tetapi, beberapa orang lainnya akan merasa sulit menerima hal itu. Orang-orang yan sangat self-critical akan menemukan kesalahan-kesalahan dalam diri mereka, bahkan ketika situasinya berada di luar kendali diri.
4. Tidak suka menerima pujian
Orang-orang self-critical menginginkan hasil yang tidak kurang dari sempurna. Mereka adalah orang yang perfeksionis, tetapi standar yang tinggi tersebut hanya berlaku untuk diri mereka saja.
Meskipun perfeksionis bisa menjadi hal positif, hal tersebut membuat orang-orang yang self-critical jarang mengakui kesuksesannya dan memberikan penghargaan untuk diri sendiri ketika telah melakukan sesuatu dengan baik.
Mereka tidak keberatan menerima pujian, tetapi jauh di dalam diri mereka, mereka akan merasa seharusnya apa yang mereka lakukan tidak sesuai standar mereka dan bisa lebih baik lagi.
5. Menyepelekan kesulitan yang dialami
Terkadang kita merasa enggan untuk terlalu berbaik hati kepada diri sendiri pada masa-masa sulit karena kita khawatir kebiasaan tersebut akan membuat kita jadi seseorang yang lembek dan tidak tahan banting.
Bagi orang-orang yang sangat self-critical, perasaan ini muncul berkali-kali lipat. Anda mungkin merasa Anda cenderung menghakimi diri dan bersikap dingin kepada diri sendiri ketika merasa kesulitan menghadapi sesuatu (Montero-Marin dkk, 2016).
6. Memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri
Terakhir, orang-orang yang sering mengkritisi diri akan menilai diri sendiri secara negatif.
Mungkin Anda pernah kesulitan memenuhi nilai kelulusan di sebuah mata pelajaran dan Anda merasa lemah, tidak kompeten, atau bodoh meskipun nilai-nilai Anda baik di mata pelajaran lainnya.
Anda mengabaikan kenyataan bahwa mungkin, teman-teman sekelas Anda yang lain juga sama kesulitannya untuk lulus di kelas tersebut dan Anda menaruh standar yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Pulih dari Kritik Diri
Bagi kita, self-criticism mungkin sebuah hal yang positif yang bisa mendorong diri kita untuk bertumbuh dan menjadi versi yang lebih baik dari diri kita sebelumnya, namun pada titik tertentu, kritik diri yang berlebihan, kecenderungan menyalahkan diri sendiri, serta kebiasaan mempersepsikan diri secara negatif dapat berujung pada kecenderungan depresi.
Kebiasaan mengkritisi diri mungkin bukanlah hal mudah untuk dikesampingkan. Terkadang, yang kita butuhkan adalah keyakinan bahwa apa yang kita lakukan sudah cukup. Ceritakan kepada kami di HelloReyo kesulitan yang pernah dihadapi mengenai kritik diri.
Referensi
Montero-Marín, J., Gaete, J., Demarzo, M., Rodero, B., Lopez, L. C. S., & García-Campayo, J. (2016). Self-Criticism: A Measure of Uncompassionate Behaviors Toward the Self, Based on the Negative Components of the Self-Compassion Scale. Frontiers in Psychology, 7, 1281. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.01281
Koestner, R., Zuroff, D. C., & Powers, T. A. (1991). Family origins of adolescent self-criticism and its continuity into adulthood. Journal of Abnormal Psychology, 100(2), 191–197. https://doi.org/10.1037/0021-843X.100.2.191
Thompson, R., & Zuroff, D. C. (2004). The Levels of Self-Criticism Scale: Comparative self-criticism and internalized self-criticism. Personality and Individual Differences, 36(2), 419–430. https://doi.org/10.1016/S0191-8869(03)00106-5